Shikamaru sedang berada di ruangan Kakashi.
Hokage Keenam itu dikelilingi oleh segunung dokumen seperti biasanya. Ia menandatangani
dokumen-dokumen itu secepat kilat seakan hanya menunggu waktu hingga ia melemah
karena kelelahan.
Jendela sepanjang ruangan itu dibiarkan terbuka, dan kalian dapat melihat jalanan di
sepanjang Konoha. Desa itu tampak bersinar dibawah teriknya matahari pagi, semuanya
dibalut dalam atmosfir lembut yang menenangkan.
“Aku sudah membuatmu menunggu.” Ucap Kakashi sembari merapikan seberkas dokumen
di mejanya.
"Ada urusan apa kau datang kemari?"
“Negeri Sunyi.”
“Ah, itu ya…”
Shikamaru masih belum menyelesaikan laporannya tentang pertemuan Persatuan Shinobi
yang lalu. Tidak ada hal yang terlalu penting dalam laporan itu, jadi ia meninggalkannya.
“Semuanya berjalan seperti biasa di Persatuan Shinobi. Organisasi itu terdiri dari orangorang
yang berkapabel, tidak ada yang perlu dikhawatirkan."
“Kau adalah salah satu dari orang-orang yang berkapabel itu."
Apakah itu benar? Apakah ia benar-benar merupakan orang yang pantas untuk mewakili
Konoha?
“Apa kau benar-benar berniat untuk pergi?" Tanya Kakashi.
“Ya.”
Kakashi menghembuskan nafas yang besar karena jawaban itu.
“Apa kau benar-benar harus pergi?"
“Sai sudah tertangkap. Desa kita sudah kehilangan shinobi dengan jumlah yang besar, baik
mereka yang hilang saat perang maupun yang hilang setelahnya. Apakah mereka pergi
dengan keinginan sendiri atau mereka ditangkap oleh Gengo adalah hal yang harus kita
verifikasi.”
“Tekadmu sudah sangat bulat, huh.”
Shikamaru mengangguk dalam diam.
Kakashi memejamkan matanya dan menggelengkan kepalanya. Ia kembali melihat ke arah
Shikamaru.
“Aku mengerti. Aku takkan mengatakan apa-apa lagi. Menurutmu siapa yang akan kau
bawa? Kau tidak berencana pergi sendiri, kan?"
“Bisakah kau menyiapkan dua Anbu untukku?"
“Huh…” Kakashi menopang dagunya dengan satu tangan, sikunya berada di atas meja.
Matanya menampakkan ekspresi serius. "Kenapa tidak Ino dan Chouji?"
“Kombinasi InoShikaChou dapat digunakan untuk serangan diam-diam, namun aku rasa
tidak cocok digunakan dalam misi ini."
“Karena ini misi pembunuhan, kan?"
“Terlebih lagi, penyelinapan adalah hal penting dalam misi ini. Aku butuh orang yang dapat
menyembunyikan chakra."
“Hmm…”
Kakashi memejamkan matanya dan berpikir. Ia memikirkan permintaan Shikamaru dan
mencocokkannya dengan beberapa rencana di kepalanya.
“Yang melakukan serangan untuk membunuh bukan kau, kan?".
“Aku berniat menggunakan jurusku untuk mengunci target."
“Kalau begitu kau membutuhkan seseorang yang akan melakukan serangan untuk
membunuh." Kakashi menyimpulkannya terlebih dahulu. Ia mengerti apa yang Shikamaru
pikirkan.
Dua orang Anbu…
Satu orang yang dapat memanipulasi chakra dan menyembunyikan keberadaan mereka. Satu
orang lagi memiliki jurus yang dapat digunakan sebagai serangan untuk membunuh.
“Aku tahu orang-orang yang cocok.” Ucap Kakashi.
“Terima kasih.”
“Aku akan mengaturnya.”
“Apa kau tidak punya hal lain yang ingin dibicarakan mengenai tugasku?” Tanya
Shikamaru.
“Tidak ada tugasmu yang lain yang lebih mendesak dari masalah ini" Ucap Kakashi, dan saat
itu kau dapat merasakan bahwa ia benar-benar merupakan seorang Hokage.
Ia memperhitungkan berbagai permasalahan penting dengan tenang, dan membuat
keputusan mengenai apa yang akan dilakukan dengan cepat dan tegas . Karena
kemampuannya lah shinobi dapat bekerja dibawahnya tanpa khawatir dan memberikan
segalanya untuk desa. Shikamaru berpikir mereka mungkin tak akan bisa melakukan apapun
tanpanya.
Ia tak pernah berpikir seperti 'aku ingin menjadi Hokage'. Akan tetapi, bohong jika
mengatakan bahwa iya tidak merasa sedikitpun termotivasi untuk tumbuh. Di depan pria
seperti Kakashi, Shikamaru masihlah muda dan belum berpengalaman, tak bisa dibandingkan
dengannya, dan itu membuatnya frustasi.
“Aku akan memerintahkan mereka untuk segera kembali. Kau bisa menunggu sedikit lebih
lama, kan?"
“Tolong lakukan secepat mungkin."
“Aku mengerti.” Kakashi tersenyum dibalik maskernya dan berdiri. Ia membelakangi
Shikamaru, menerawang ke arah pintu.
“Kau tidak perlu terlalu membebani dirimu sendiri, kau tahu kan." Gumam Kakashi.
Shikamaru tak menjawab.
Membebani dirinya sendiri…
Mungkin bisa dibilang begitu.
Di satu sisi yang bahkan ia sendiri tidak mengerti, Shikamaru entah bagaimana, berakhir
dengan memikul banyak—begitu banyak beban. Meskipun ia mengatakan bahwa semua hal
itu merepotkan, entah bagaimana ia akhirnya bertingkah tidak seperti dirinya, dan memikul
begitu banyak hal. Meskipun semua beban ini menjadi terlalu berat untuk dipikulnya, ia pun
tak bisa membiarkannya begitu saja.
Shikamaru sebenarnya juga takut.
Ia merasa bahwa ia bisa menyingkirkan segalanya, dan kehilangan dirinya dalam prosesnya.
Ia bisa kembali menjadi seseorang yang selalu mengatakan semua hal itu merepotkan. Jika ia
menyingkirkan semua kewajiban dan bebannya untuk sesaat, bukankah besar kemungkinan
bahwa ia tak akan mengambilnya lagi?
Dan ketika hal itu terjadi, maka apakah itu merupakan keadaan dimana tak ada lagi yang
membutuhkannya?
Pikiran itu sendiri sebenarnya sangatlah menakutkan.
“Aku ingin memberitahumu apa yang kupikirkan sekarang.” Kakashi mengangkat tangan
kirinya ke udara, membiarkan sekelibat petir muncul.
“Saat ini, aku sangat ingin mengabaikan semua kewajibanku sebagai ke Hokage dan pergi ke
Negeri Sunyi."
Shikamaru dapat mendengar jelas jeritan frustasi dari hati Kakashi:
bagaimana seorang pria ingin mengabaikan segalanya untuk pergi dan membunuh Gengo
dengan kedua tangannya.
Tapi tanggung jawabnya sebagai Hokage tidak bisa ia tinggalkan begitu saja.
“Sejujurnya," Ucap Kakashi
"Aku merasa...adalah hal yang tidak pantas bagiku untuk membebanimu dengan hal ini."
“Naruto dan aku, dan semua teman-teman sebaya kami, sudah menempati posisi dengan
berbagai beban dan tanggung jawab. Kau tak perlu memikulnya sendirian."
“Apa memang begitu…”
Petir ditangan Kakashi lenyap tanpa menjadi apa-apa.
“Shikamaru.” Kakashi melirik ke arah pemuda berklan Nara itu.
"Aku terkadang berpikir apa sebenarnya arti menjadi dewasa."
“Tolong jangan tanyakan padaku jawabannya." Shikamaru menghela nafas.
“Aku akan datang lagi." Shikamaru berbicara pada batu nisan. Berpaling sejenak, matanya
terpaku pada nama yang terukir pada batu itu: Nara Shikaku.
Secara natural, ia ingin mengunjungi makam ayahnya setelah pertemuannya dengan Kakashi
usai.
Apa artinya menjadi orang dewasa? Ia merasa seperti akan menemukan jawaban dari
pertanyaan Kakashi disini.
Pada Perang Dunia Shinobi ke-4, ayahnya bersama kelima Kage berada di markas besar
aliansi. Setelah kelima Kage berangkat ke garis depan pertarungan karena parahnya keadaan
perang, ayah Ino dan ayah Shikamaru ditugaskan untuk memberi arahan kepada seluruh
pasukan.
Kemudian, Obito telah membangkitkan Juubi dan membuatnya meluncurkan Bijuudama-nya
untuk membuat kekacauan diantara pasukan aliansi. Saat serangan yang mematikan itu
mendekat, waktu terakhir Shikaku dihabiskan untuk berpikir dan mengatur strategi
selanjutnya untuk pasukan aliansi.
Ia telah menjadi seorang Shinobi hingga akhir hidupnya.
Tidak…
Kenyataannya adalah, hingga akhir hidupnya, Shikaku telah menjadi seorang ayah.
Meskipun yang mengetahui kebenaran itu hanya Shikamaru, putranya.
Sebenarnya apa arti menjadi orang dewasa?
Shikamaru memikirkan hal itu sesaat.
Setelah memberikan salam perpisahan pada makam ayahnya, kaki Shikamaru melangkah ke
makam yang selanjutnya ingin ia kunjungi.
Makam gurunya.
Sarutobi Asuma…
Ia adalah seorang pria yang telah meninggalkan kehidupan elit yang ia sandang sebagai
darah daging Hokage Ketiga, dan lebih memilih untuk berjaga di garis depan.
Setelah Shikamaru lulus dari akademi, dibawah didikan Asuma-lah ia dibesarkan sebagai
shinobi seperti sekarang ini. Bersama Ino dan Chouji, ketiganya terus-menerus mengikuti
jejak Asuma, berjuang dalam berbagai misi.
Asuma, yang melewati berbagai keadaan krisis dengan rokok di mulutnya dan sikapnya yang
santai, telah menjadi inspirasi bagi Shikamaru.
Dan kini, Asuma tak dapat ditemukan lagi di dunia ini.
Ia gugur dalam pertarungan melawan kelompok ‘Akatsuki’ yang berencana untuk menguasai
dunia.
Ia mati demi menjaga agar Shikamaru tetap hidup...
Asuma sudah mengetahui bahwa mereka tidak punya kesempatan untuk menang melawan
kemampuan yang tak seperti manusia dari anggota Akatsuki yang mereka hadapi, dan gugur
karena mempertaruhkan hidupnya untuk melindungi Shikamaru dan rekannya yang lain.
Ia juga telah menghabiskan waktu terakhirnya untuk memikirkan orang lain.
Shikamaru belum menemukan sesuatu yang membuatnya mempertaruhkan nyawanya demi
melindunginya.
Tentu saja, semua orang di desa ini dan semua temannya sangat berharga untuknya. Namun
perasaan itu berbeda dengan rasa ingin melindungi yang ditunjukkan oleh ayahnya dan
Asuma.
Mungkin itu artinya Shikamaru belum menjadi orang dewasa.
Awalnya ia berpikir bahwa kata 'dewasa' yang ambigu mengacu pada seorang anak yang
karena suatu hal terjebak dalam tubuhnya sendiri.
Dalam kasus itu, bahkan Kakashi pun hatinya masih seperti anak-anak.
Namun Kakashi telah memiliki sesuatu yang membuatnya akan menukarkan nyawanya untuk
melindunginya. ‘Untuk seorang Hokage, setiap orang di desa adalah anaknya'. Itu adalah
kata-kata dari Ayah Asuma, Hiruzen, Hokage Ketiga.
Mungkin ketika Kakashi memilih untuk menjadi Hokage, maka ia telah menjadi orang
dewasa.
Ia tidak lagi yakin tentang hal itu...
“Shika niichan!”
Shikamaru tersadar dari lamunannya karena suara riang yang mencapai telinganya.
Seorang balita montok yang terhuyung-huyung menuju ke arahnya.
Berayun ke kiri dan kanan menggunakan kaki kecilnya yang kikuk, ia berjalan ke arah
Shikamaru selangkah demi selangkah.
“Mirai.” Shikamaru memanggil namanya, suaranya secara natural berubah menjadi ceria
dan penuh perasaan. Rasa tegangnya melunak, dan bibirnya bergerak membentuk senyuman.
“Gyaa!” Mirai kemudian menuju ke tempat ia berdiri, dan memeluk kakinya dengan tangan
pendeknya yang kecil.
“Shika niichan!”
Balita itu menatapnya dengan matanya yang cerah, wajah mungilnya tersenyum lebar.
Senyum balita itu seperti matahari, dan Shikamaru dapat merasakan hatinya yang beku
mencair karena kehangatannya.
“Sudah lama ya, Shikamaru.”
“Kurenai-sensei.” Shikamaru memberi salam kepada wanita berambut gelap yang merupakan
ibu dari Mirai.
“Aku bukan seorang sensei lagi, berhenti memanggilku seperti itu." Katanya sambil tertawa.
Sarutobi Kurenai…
Sebenarnya, ia merupakan seorang jounin pemimpin seperti Kakashi dan Asuma, yang
bertanggung jawab untuk memimpin tim yang beranggotakan beberapa teman sekelas
Shikamaru. Namun sekarang ia adalah seorang ibu yang mengabdikan seluruh waktunya
untuk merawat anaknya.
“Kau datang untuk mengunjungi makam Asuma?” Tanyanya.
“Iya.”
“Dan makam ayahmu?”
“Aku baru saja mengunjunginya.”
Sembari mendengar pembicaraan mereka dan masih memeluk kaki Shikamaru, Mirai
tersenyum dan mengangkat kepalanya.
“Shika niichan! Bertemu ayah!”
Meskipun balita itu baru bisa menggunakan kalimat yang terputus-putus, ia memiliki
keinginan yang besar untuk mengungkapkan apa yang ia ingin katakan. Saat melihat ke arah
Mirai, hati Shikamaru menghangat.
Untuk menjadi guru dari anak ini...
Adalah janji yang ia buat pada Asuma dan Kurenai.
“Aku tahu, kau kesini untuk bertemu ayahmu, huh?” Shikamaru berjongkok agar ia dapat
berbicara dengannya, mata bertemu mata.
Mirai mengangguk senang karena merasa dimengerti.
“Wah, hebat sekali, Mirai.” Ucap Shikamaru, menepuk kepala Mirai dengan lembut.
Rasa lembut dari rambut balita yang masih halus itu menjalar di lengannya hingga mencapai
hatinya, berubah menjadi rasa tenang yang menyeruak ke dalam perasaannya.
“Cepatlah besar, oke?"
“Mm.”
“Kau benar-benar menyayangi Shikamaru niichan-mu, huh Mirai?” Ucap Kurenai.
Mirai mengangguk dengan antusias hingga ia hampir terjungkal ke depan, dan Shikamaru
menggapai untuk menangkapnya dengan kedua tangan.
Demi anak ini, dia benar-benar tak boleh pergi hanya untuk mati...
“Betul sekali!”
Mirai mengatakan kalimat itu pada waktu yang tepat, seolah ia dapat membaca perasaan
Shikamaru.
“Baiklah, terima kasih telah menyukaiku."
Shikamaru menggendong Mirai dan mengangkatnya ke udara. Anak perempuan berusia dua
tahun itu tertawa girang. Shikamaru berpikir pada dirinya sendiri sekali lagi, lebih kuat dari
sebelumnya.
Aku benar-benar tidak boleh mati.
Bersambung Ke Part 5...
Sabtu, 25 April 2015
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar